Beranda | Artikel
Sunnah dan Syiah, Bersandingan? Mustahil
Kamis, 15 Desember 2022

SUNNAH DAN SYI’AH, BERSANDINGAN? MUSTAHIL

Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA

Alhamdulillâh, salawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga dan Sahabatnya.

Penindasan dan kehinaan yang diderita oleh umat Islam saat ini, menjadikan sebagian umat Islam menyerukan agar diadakan konsolidasi antara semua aliran yang ada. Hanya saja, seruan tersebut sering kali kurang direncanakan dengan baik, sehingga tidak menghasilkan apapun. Di antara upaya konsolidasi dan merapatkan barisan yang terbukti tidak efektif ialah upaya merapatkan barisan Ahlus Sunnah dengan sekte Syi’ah, dengan menutup mata dari berbagai penyelewengan sekte Syi’ah. Konsolidasi semacam ini bukannya memperkuat barisan umat Islam, namun bahkan sebaliknya, meruntuhkan seluruh keberhasilan yang telah dicapai umat Islam selama ini. Karena itu, melalui tulisan ringkas ini, saya ingin sedikit menyibak tabir yang menyelimuti sekte Syi’ah. Dengan harapan, kita semua dapat menilai, benarkah Ahlus sunnah memerlukan konsolidasi dengan mereka?

Pandangan Akidah Ahlus Sunnah dan Keyakinan Syi’ah Tentang Allah Azza wa Jalla.
Sebagai seorang Muslim, Anda pasti beriman bahwa sesembahan Anda hanyalah Allah Azza wa Jalla . Dialah Pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya, dan Dia pula yang mengatur semuanya. Demikianlah keyakinan umat Islam secara umum dan syari’at dalam al-Qur’ân:

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ وَّمِنَ الْاَرْضِ مِثْلَهُنَّۗ يَتَنَزَّلُ الْاَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Allah-lah yang menciptakan tujuh langit, dan bumi seperti itu pula. Perintah Allah terus-menerus berlaku di antara alam langit dan alam bumi, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. [at-Thalâq/65:12]

Umat Islam meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla telah mentukan takdir seluruh makhluk-Nya, sehingga tidak ada satu kejadian pun kecuali atas kehendak-Nya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ – قَالَ – وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ)

Allah telah menuliskan takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi, dan ‘Arsy-Nya berada di atas air. (HR. Muslim)

Pada suatu hari Sahabat Ubâdah bin Shâmit Radhiyallahu anhu memberikan petuah kepada putranya dengan mengatakan:

يَا بُنَىَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ. سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ، قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَىْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ). يَا بُنَىَّ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (مَنْ مَاتَ عَلَى غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّيْ)

Wahai anakku!, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan manisnya iman hingga engkau percaya bahwa sesuatu yang (ditakdirkan) menimpamu, tidak mungkin meleset darimu. Sebaliknya, sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, tidak mungkin menimpamu. Aku mendengar Rasulullâh bersabda, “Sesungguhnya pertama kali Allah menciptakan al-Qalam (Pena), Ia befirman kepadanya, “Tulislah”. Mendengar perintah itu, al-Qalam berkata, Wahai Rabbku, apa yang harus  aku tulis? Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu hingga kiamat tiba”. (Lalu Sahabat Ubâdah bin Shâmit melanjutkan petuahnya dengan berkata), “Wahai anakku! aku telah mendengar Rasulullâh bersabda,“Barang siapa mati di atas keyakinan menyelisihi keyakinan ini, maka ia tidak termasuk  dari golonganku”. (HR. Abu Dâwud)

Demikianlah sekelumit tentang akidah umat Islam tentang Allah Azza wa Jalla . Akan tetapi, tahukah Anda apa ideologi sekte Syi’ah ? Simaklah ideologi mereka dari riwayat yang termaktub dalam kitab terpercaya mereka, yaitu Al-Kâfi karya al-Kulaini :

Abu Hâsyim al-Ja’fary menuturkan, “Pada suatu hari aku berkunjung ke rumah Abul Hasan (Ali bin Muhammad-pen) ‘alaihissalâm sepeninggal putranya Abu Ja’far (Muhammad-pen). Kala itu aku berencana mengatakan, “Seakan kejadian yang menimpa Abu Ja’far dan Abu Muhammad  (al-Hasan bin Ali ) pada saat ini serupa dengan yang dialami oleh Abul Hasan Mûsa dan Ismâîl putra Ja’far bin Muhammad ‘alaihimussalâm. Kisah keduanya (Ali dan Muhammad bin Muhammad) serupa dengan kisah keduanya (Mûsa dan Ismâîl bin Ja’far), dikarenakan Abu Muhammad al-Murji menjadi imam sepeninggal Abu Ja’far ‘alaihissalâm. Tiba-tiba Abul Hasan menatapku sebelum aku sempat mengucapkan sepatah katapun, lalu ia berkata, “Benar, wahai Abu Hâsyim, Allah memiliki pendapat baru tentang Abu Muhammad sepeninggal Abu Ja’far yang sebelumnya tidak Dia ketahui. Sebagaimana sebelumnya muncul pendapat baru pada Mûsa (bin Ja’far) sepeninggal Ismâîl (bin Ja’far) suatu pendapat baru yang selaras dengan keadaannya. Kejadian ini  sebagaimana yang terbetik dalam jiwamu, walaupun orang-orang yang sesat tidak menyukainya.”[1] 

Demikianlah Saudaraku! sekte Syi’ah meyakini adanya perubahan pada pengetahuan dan kehendak Allah Azza wa Jalla , sehingga Ia berubah pendapat dan keinginan karena terjadi sesuatu yang di luar pengetahuan dan kehendak-Nya.

Menurut hemat Anda! Mungkinkah seorang Muslim memiliki keyakini semacam ini?

Nabi Muhammad versi Ahlus Sunnah dan Syi’ah.
Saudaraku! Anda pasti mengetahui bahwa syarat utama untuk menjadi seorang Muslim ialah mengucapkan dua kalimat syahadat. Ikrar bahwa sesembahan Anda hanya Allah Azza wa Jalla dan Muhammad bin `Abdillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah Azza wa Jalla . Dan di antara konsekuensi dari persaksian bahwa beliau adalah utusan Allah Azza wa Jalla ialah Anda meyakini bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan seluruh wahyu Allah Azza wa Jalla kepada umatnya.

Oleh karena itu, pada saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di Padang Arafah, beliau bertanya tentang hal ini kepada para Sahabatnya:

أَنْتُمْ تُسْأَلُونَ عَنِّى فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ ؟

Kalian pasti akan ditanya tentang aku, maka apa yang akan kalian katakan? Simaklah jawaban umat Islam yang menghadiri khutbah beliau  ini:

قَالُوا: نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ وَأَدَّيْتَ وَنَصَحْتَ. فَقَالَ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ: (اللَّهُمَّ اشْهَدِ اللَّهُمَّ اشْهَدْ ) ثَلاَثَ مَرَّاتٍ رواه مسلم

Para Sahabat menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan mengemban risâlah dengan sempurna tanpa ada sedikit pun campuran. Lalu beliau mengisyaratkan dengan telunjuknya ke arah langit lalu menunjuk ke arah para sahabatnya seraya berdoa, “Ya Allah, persaksikanlah, Ya Allah persaksikanlah (sebanyak tiga kali).” (HR.Muslim)

Saya yakin, Anda dan juga seluruh umat Islam di seantero dunia pun demikian, bersaksi bahwa beliau telah sepenuhnya menunaikan amanah, menegakkan agama dan menyampaikan seluruh wahyu Allah Azza wa Jalla kepada umatnya.

Akan tetapi, tahukah Anda, apa kira-kira sikap dan keyakinan sekte Syi’ah? Anda ingin tahu? Temukan jawabannya pada pengakuan revolusioner mereka, yaitu al-Khumaini berikut ini:

لَقَدْ أَثْبَتْنَا فِيْ بِدَايَةِ هَذَاالْحَدِيْثِ بِأَنَّ النَّبِيَّ أَحْجَمَ عَنِ التَّطَرُّقِ إِلَى اْلإِمَامَةِ فِيْ القُرْآنِ، لِخَشْيَتِهِ أَنْ يُصَابَ الْقُرآنُ بِالتَّحْرِيْفِ، أَوْ أَنْ تَشْتَدَّ الْخِلاَفَاتُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَيُؤَثِّرُ ذَلِكَ عَلَى اْلإِسْلاَمِ

Telah kami buktikan pada awal pembahasan ini, bahwa Nabi menahan diri dari membicarakan masalah imâmah (kepemimpinan) dalam al-Qur’ân;[2] karena beliau khawatir al-Qur’ân akan diselewengkan, atau timbul perselisihan yang sengit di tengah-tengah kaum Muslimin, sehingga hal itu berakibat buruk bagi masa depan agama Islam.”[3]    

Al-Khumaini belum merasa cukup dengan menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa gentar untuk menyampaikan ayat-ayat imâmah kepada umatnya. Lebih jauh, dengan tanpa merasa bersalah al-Khumaini menuduh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penyebab terjadinya seluruh perpecahan dan peperangan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam sepeninggal beliau:

وَوَاضِحٌ بِأَنَّ النَّبِيَّ لَوْ كَانَ قَدْ بَلَغَ بِأَمْرِ اْلإِمَامَةِ طَبَقًا لِمَا أَمَرَ بِهِ اللهُ، وَبَذَلَ الْمَسَاعِيَ فِيْ هَذَا الْمَجَالِ، لَمَا نَشَبَتْ فِيْ اْلبُلْدَانِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ كُلُّ هَذِهِ اْلإِخْتِلاَفاَتِ وَالْمُشَاحَنَاتِ وَالْمَعَارِكِ، وَلَمَا ظَهَرَتْ ثَمَّةَ خِلاَفاَتٌ فِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ وَفُرُوْعِهِ

Sangat jelas bahwa Andai Nabi telah menyampaikan perihal imâmah (kepemimpinan), sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadanya, dan ia benar-benar mengerahkan segala upayanya dalam urusan ini, niscaya tidak akan pernah terjadi berbagai perselisihan, persengketaan dan peperangan ini di seluruh belahan negeri Islam. Sebagaimana di sana tidak akan muncul perselisihan dalam hal ushûl (prinsip) dan juga cabang furû‘ (cabang) agama.”[4]   

Mungkin Anda berkata, “Ah ini hanya salah tulis al-Khumaini saja, dan tidak mewakili ideologi kaum Syi’ah.”

Tunggu sejenak Saudara! Coba Anda bandingkan ucapan al-Khumaini di atas dengan dua riwayat berikut:

Al-Kulaini meriwayatkan bahwa Imam Abu `Abdillâh Ja’far Ash-Shâdiq, menyatakan:

لَوْلاَ نَحْنُ مَا عُبِدَ اللهُ

Andai bukan karena kami, niscaya Allah tidak akan pernah diibadahi.[5]

Mufti sekte Syi’ah pada abad ke-11 H, yang bernama al-Majlisi menambahkan riwayat di atas menjadi:

لَوْلاَهُمْ، مَا عُرِفَ اللهُ وَلاَ يَدْرِيْ كَيْفَ يَعْبُدُ الرَّحْمَنَ

Andai bukan karena para imam, niscaya Allah tidak akan dikenal, dan tidak akan ada yang tahu bagaimana beribadah kepada Ar-Rahmân (Allah).[6]

Apa perasaan dan pendapat Anda setelah membaca dua riwayat yang termaktub dalam dua referensi terpercaya umat Syi’ah ini?

Berdasarkan kedua riwayat ini, kira-kira apa peranan dan jasa Nabi Muhammad menurut sekte Syi’ah? Mereka meyakini bahwa hingga sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , umat manusia belum juga mengetahui bagaimana harus beribadah kepada Allah Azza wa Jalla . Kalaulah bukan karena jasa para imam-imam umat Syi’ah, maka tidak ada manusia yang bisa shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Saudaraku! sebagai seorang Mukmin, dapatkah batin Anda menerima tuduhan keji sekte Syi’ah ini kepada Nabi Anda?

Coba sekali lagi Anda bandingkan kedua riwayat ini dengan ucapan al-Khumaini di atas. Al-Khumaini beranggapan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sumber petaka yang menimpa umat ini. Berbagai persengketaan, pertumpahan darah dan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah umat berawal dari kegagalan beliau dalam menyampaikan wahyu Allah Azza wa Jalla , terutama yang berkaitan dengan “al imâmah” (kepemimpinan).

Perkenankan saya bertanya, “Menurut hemat Anda, apakah kedua riwayat dan juga ucapan al-Khumaini di atas mencerminkan syahadat “Muhammad Rasulullâh” ? Sebagai seorang Muslim yang bersaksi bahwa Muhammad bin `Abdullâh adalah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , apa perasaan Anda membaca kedua riwayat dan ucapan al-Khumaini di atas ? Kuasakah Anda untuk menutup mata dan telinga dari fakta ini, lalu Anda bergandengan tangan dengan orang-orang yang meyakini demikian itu tentang Nabi Anda?

Sahabat Dalam Akidah Ahlisunnah dan Kebencian Syi’ah.
Saudaraku, bila Anda mencermati sejarah para nabi dan umatnya, niscaya Anda dapatkan bahwa Sahabat setiap nabi adalah orang-orang pilihan dan generasi terbaik dari umat nabi tersebut. Kesimpulan Anda ini benar adanya dan selaras dengan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا مِنْ نَبِىٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ

Tidaklah ada seorang nabi pun yang diutus kepada suatu umat sebelumku, kecuali ia memiliki para pendamping dan sahabat setia, yang senantiasa mengikuti ajarannya dan berpedoman dengan perintahnya. Sepeninggal mereka, datanglah suatu generasi yang biasa mengatakan sesuatu yang tidak mereka perbuat, serta melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. (HR. Muslim)

Demikian pula halnya dengan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Sahabat beliau adalah generasi terbaik dari umat Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ

Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah. [Ali Imrân/3:110]

Saya yakin, Anda pun meyakini bahwa generasi pertama dari umat Islam yaitu para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah generasi terbaik dari umat Islam. Bukankah demikian, Saudaraku !

Akan tetapi, tahukah Anda, siapakah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di mata umat Syi’ah? Anda ingin tahu, silahkan simak riwayat-riwayat mereka berikut:

عَنْ سُدَيْرٍ عَنْ أَبِيْ جَعْفَرٍ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ أَهْلَ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ سَنَةً، إِلاَّ ثَلاَثَةٌ: فَقُلْتُ: وَمَنْ الثَّلاَثَةُ ؟ فَقَالَ: الْمِقْدَادُ بْنُ اْلأَسْودُ وَأَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَسَلْمَانَ اْلفَارِسِيُّ، وَقَالَ: هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ دَارَتْ عَلَيْهِمُ الرَّحَى وَأَبَوْا أَنْ يُبَايِعُوْا حَتَّى جَاؤُوْا بِأَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ مَكْرَهاَ فَبَايَعَ

Dari Sudair, ia meriwayatkan dari Abu Ja’far (Muhammad bin Ali bin al-Husain) ‘alaihissalâm, “Dahulu sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruh manusia murtad selama satu tahun, kecuali tiga orang. As-Sudair pun bertanya, “Siapakah ketiga orang tersebut?”dia menjawab, al-Miqdâd bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifâri, dan Salmân  al-Fârisi, lalu beliau berkata, “Mereka itulah orang-orang yang tetap kokoh dengan pendiriannya dan enggan untuk membaiat (Abu Bakar As-Shiddîq-pen) hingga didatangkan Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thâlib)  alaihissalâm dalam keadaan terpaksa, lalu beliaupun berbaiat.[7]  

Syaikh Mufîd (wafat tahun 413 H) juga meriwayatkan dari Abu Ja’far (Muhammad bin Ali bin al-Husain) ‘alaihissalâm:

اِرْتَدَّ النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ إِلاَّ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ: الْمِقْدَادُ بْنُ اْلأَسْوَدِ وَأَبُوْ ذَرٍّ الْغِفَارِيْ وَسَلْمَانُ اْلفَاِرسِيُّ، ثُمَّ ِإنَّ النَّاسَ عَرَفُوْا وَلَحِقُوْا بَعْدُ

Seluruh manusia menjadi murtad sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali tiga orang, al-Miqdâd bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifâry, dan Salmân al-Fârisi. Kemudian setelah itu manusia mulai menyadari, dan kembali masuk Islam.”[8]   

Dalam riwayat lain, mereka menambah jumlah yang tetap mempertahankan keislamannya menjadi empat orang:

Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far, bahwa ia berkata:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ لَمَّا قُبِضَ، صَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةٌ: عَلِيٌّ وَالْمِقْدَادُ وَسَلْمَانُ وَأَبُوْ ذَرٍّ 

Sesungguhnya tatkala Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, seluruh manusia kembali kepada kehidupan jahiliyah, kecuali empat orang saja: yaitu Ali, al-Miqdâd, Salmân dan Abu Dzar.”[9]    

Saudaraku! apa perasaan Anda tatkala membaca beberapa contoh riwayat yang termaktub dalam kitab-kitab terpercaya agama Syi’ah di atas?

Saya yakin, batin Anda menjerit, keimanan Anda menjadi berkobar ketika membaca riwayat-riwayat itu ? Betapa tidak,  para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinyatakan telah murtad, kecuali tiga orang saja.

Saudaraku! Coba tenangkan perasaan Anda, lalu baca kembali dengan seksama riwayat-riwayat di atas. Tidakkah Anda mendapatkan hal yang aneh pada kedua riwayat tersebut ? Pada riwayat tersebut dinyatakan bahwa yang tetap berpegang teguh dengan keimanan dan keislamannya hanya ada tiga orang. Dan pada riwayat lainnya dijelaskan maksud dari ketiga orang tersebut, yaitu: Al-Miqdâd bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifâry, dan Salmân al-Fârisi.

Bila demikian adanya, lalu bagaimana halnya dengan Ali bin Abi Thâlib, Fâtimah bintu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan kedua putranya, yaitu al-Hasan dan al-Husain ? Mungkinkah mereka termasuk yang murtad, karena yang dinyatakan tetap berpegang dengan keislamannya hanyalah tiga, dan mereka semua tidak termasuk dari ketiga orang tersebut?

Demikianlah Saudaraku ! Umat Syi’ah mempropagAndakan sebagai para pencinta Ahlul Bait dan pembela mereka. Akan tetapi, faktanya, mereka menghinakan Ahlul Bait, bahkan menganggap mereka telah murtad dari Islam. Bila Anda tidak percaya, silahkan buktikan dan datangkan satu riwayat saja yang menyebutkan bahwa Ahlul Bait tidak termasuk yang murtad sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Saya yakin Anda tidak akan menemukan riwayat tersebut, walau Anda membaca seluruh kitab-kitab Syi’ah.

Apa yang saya paparkan di atas, menjadi alasan bagi Imam ‘Amir bin Syurahil asy-Sya’bi untuk berkata tentang sekte Syi’ah, “Kaum Yahudi dan Nasrani memiliki satu kelebihan bila dibandingkan dengan agama Syi’ah. Bila dikatakan kepada kaum Yahudi, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu? Niscaya mereka menjawab, “Tentu para Sahabat Nabi Mûsa. Dan bila dikatakan kepada kaum Nasrani, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu? Niscaya mereka menjawab, “Tentu para Sahabat sekaligus pengikut setiap Nabi ‘Isa. Akan tetapi, bila dikatakan kepada agama Râfidhah (Syi’ah), “Siapah orang terjelek dari penganut agamamu? Niscaya mereka menjawab, “Tentu para Sahabat sekaligus pengikut setia Nabi Muhammad.”

Saudaraku! Mungkin Anda bertanya-tanya, “Mengapa para pengikut agama Syi’ah begitu membenci para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , terutama ketiga Khulafâ’ur Râsyidin yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsmân ? Saudaraku! Benarkah Anda merasa penasaran ingin mengetahui biang kebencian mereka kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Obatilah rasa penasaran Anda dengan jawaban seorang pakar yang telah kenyang dengan pengalaman dalam menghadapi para penganut Syi’ah. Tokoh tersebut adalah Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah . Beliau menyampaikan hasil studi dan pengalaman beliau pada ucapannya berikut, “Bila engkau dapatkan seseorang mencela seorang Sahabat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa ia adalah orang zindîq (kafir yang menampakkan keislaman). Alasannya, karena kami meyakini bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti benar, dan al-Qur’ân juga pasti benar. Sedangkan yang menyampaikan al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para Sahabat. Dengan demikian, sesungguhnya orang yang mencela para saksi (perawi) kami (yaitu para Sahabat),  hendak menggugurkan al-Qur’ân dan Sunnah . Karena itu, merekalah yang lebih layak untuk dicela.” (Riwayat al-Khathîb al-Baghdâ dalam kitab Al-Kifâyah Fî ‘Ilmir Riwâyah)

Ahlul Bait Menurut Akidah Islam dan Dongeng Syi’ah.
Ahlul Bait atau karib kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan dan keutamaan yang begitu besar. Wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut, cukuplah sebagai bukti akan keutamaan dan kemulian mereka :

(أَمَّا بَعْدُ، أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ، فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، يُوْشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُوْلُ رَبِّى فَأُجِيْبَ، وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّوْرُ، فَخُذُوْا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوْا بِهِ). فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيْهِ، ثُمَّ قَالَ: (وَأَهْلُ بَيْتِيْ، أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِيْ، أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِيْ، أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِيْ) رواه مسلم

Amma ba’du, ketahulilah wahai umat manusia, sesungguhnya aku adalah manusia biasa, tidak berapa lama lagi akan datang utusan Allah, dan akupun memenuhi panggilan-Nya. Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua hal besar; pada hal pertama terdapat petunjuk dan cahaya. Hendaknya engkau semua mengamalkan kitab Allah dan berpegang teguh dengannya.” Selanjutnya beliau menganjurkan umatnya untuk berpegang teguh dengan kitâbullâh. Selanjutnya beliau berkata: (Dan juga Ahlu Baiti (keluargaku), aku mengingatkan kalian agar takut kepada Allah dalam memperlakukan keluargaku, aku mengingatkan kalian agar takut kepada Allah dalam memperlakukan keluargaku, dan aku mengingatkan kalian agar takut kepada Allah dalam memperlakukan keluargaku.” (HR. Muslim)

Tidak heran bila Ahlus Sunnah senantiasa mencintai, menghormati dan mengagungkan karib kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebagai buktinya, banyak dari mereka yang menamakan putra-putri mereka dengan nama-nama Ahlul Bait. Bukan hanya itu, Ahlus Sunnah senantiasa membaca shalawat, baik bacaan shalawat ketika duduk tahiyat dalam shalat maupun di luar shalat untuk Ahlul Bait. Bukankah demikian Saudaraku? Tidakkah ini cukup sebagai bukti bahwa umat Islam mencintai Ahlul Bait?

Tidak heran bila Imam As-Syâfi’i rahimahullah berkata:

إِنْ كَانَ رَفْضاً حُبُّ آلِ مُحَّمَدِ … فَلْيَشْهَدِ الثَّقَلاَنِ أَنِّي رَافِضِي

Andai kecintaan kepada keluarga Nabi Muhammad disebut Râfidhah,
                Hendaklah seluruh jin dan manusia bersaksi bahwa aku adalah seorang Râfidhah.

Akan tetapi, benarkan ajaran Râfidhah atau Syi’ah hanya sebatas mencintai Ahlul Bait? Untuk menjawab pertanyan ini, simaklah riwayat-riwayat yang mereka imani berikut:

Al-Kulaini dalam kitabnya Al-Kâfy meriwayatkan dari Abu `Abdillâh Ja’far Ash-Shadîq :

أَمَّا عَلِمْتَ أَنَّ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةَ لِْلإِمَامِ، يَضَعُهَا حَيْثَ يَشَاءُ، وَيَدْفَعُهَا ِإلَى مَنْ يَشَاءُ 

Tidakkah engkau sadar, bahwa  dunia dan akhirat adalah milik sang imam, sehingga ia bebas meletakkannya sesuai dengan kehendaknya dan menyerahkannya kepada orang yang ia kehendaki?

Belum cukup hebat, sehingga mereka  masih merasa perlu untuk merekayasa riwayat berikut dari Sahabat Ali:

نَحْنُ خَزَّانُ اللهِ فِيْ أَرْضِهِ وَسَمَائِهِ، وَأَنَا أُحْيِيْ وَأَنَا أُمِيْتُ، وَأَنَا حَيٌّ لاَ أَمُوْتُ

Kami adalah para penjaga (kekayaan dan ilmu) Allah di bumi dan di langit, akulah yang menghidupkan dan akulah yang mematikan, serta aku senantiasa hidup dan tidak akan pernah mati.[10]   

Karena kedudukan imam dalam syari’at Syi’ah, tidak heran bila revolusioner mereka pada abad ini, yaitu Ayatullâh al-Khumaini dengan tanpa rasa sungkan menyatakan:

إِنَّ تَعَالِيْمَ اْلأَئِمَّةِ كَتَعَالِيْمِ القُرْآنِ، لاَ تَخُصُّ جِيْلاً خَاصاً وَإِنَّمَا هِيَ تَعَالِيْمُ لِلْجَمِيْعِ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ وَمِصْرَ وَإِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، يَجِبُ تَنْفِيْذُهَا وَاتِّبَاعُهَا

Sesungguhnya ajaran para imam sama halnya dengan ajaran al-Qur’ân, tidak diperuntukkan khusus bagi generasi tertentu. Ajaran para imam adalah ajaran yang berlaku untuk semua, di setiap masa, negeri dan hingga hari kiamat, wajib diterapkan dan dijadikan panutan.”[11]

Saudaraku! Dari sedikit penuturan di atas, mungkin Anda bertanya-tanya, bila demikian kedudukan seorang imam dalam syari’at Syi’ah, apakah mereka telah menobatkan mereka sebagai tuhan mereka?

Untuk mengobati rasa penasaran Anda, berikut ini saya sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka Syi’ah yang dengan membaca namanya, Anda dapat mengetahui jawaban pertanyaan Anda:

  1. `Abdul Husain bin Ali (wafat tahun 1286 H), ia adalah seorang tokoh terkemuka agama Syi’ah pada zamannya, sampai-sampai dijuluki dengan Syaikhul ‘Irâqain (Syaikh kedua Irak/ Irak & Iran).
  2. `Abdul Husain al-Amini at-Tabrizi (1390 H), penulis buku Al-Ghadir.
  3. `Abdul Husain Syarafuddîn al-Musâwi al ‘Amili (1377 H), penulis buku Abu Hurairah, kitab Kalimatun Haula ar Riwâyah, Kitab An Nash wa Al Ijtihâd, Al-Murâja’ât, & kitab Al-Fushûll Muhimmah.[12]
  4. `Abdul Husain bin al-Qâshim bin Shâleh al-Hilly (wafat tahun 1375 H).
  5. `Abduz Zahrâ’ (Hamba az-Zahra’/Fatimah) al-Husainy, penulis kitab Mashâdiru Nahjil Balâghah wa Asâ

Saudaraku! Inilah ideologi yang oleh para penganut Syi’ah disebut dengan kecintaan kepada Ahlul Bait. Kultus, ekstrim dalam memuja mereka dengan menyematkan sebagian sifat-sifat Allah Azza wa Jalla kepada mereka. Coba Anda bandingkan para imam dalam ajaran Syi’ah dengan sabda Rasulullah n tentang dirinya sendiri berikut ini:

(لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُولُوْا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُوْلُهُ) متفق عليه

Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh kaum Nasrani kepada‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah :” Hamba Allah dan Utusan-Nya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikianlah syari’at yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memuji dan mencintai; cinta dan pujian tanpa berlebih-lebihan. Selanjutnya, kembali kepada Anda, meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah mempercayai sekte Syi’ah.

Setelah membaca penjelasan singkat ini, mungkin Anda menjadi penasaran dan bertanya, “Sebenarnya, apa sikap para tokoh yang dianggap sebagai imam-imam sekte Syi’ah. Mungkinkah mereka merestui kultus dan berbagai ideologi sekte Syi’ah ini?

Saudaraku! Untuk menjawab pertanyaan Anda ini, saya mengajak Saudara untuk bersama-sama membaca pernyataan mereka yang termaktub dalam berbagai referensi terpercaya sekte Syi’ah.

Sahabat Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu menggambarkan perihal orang-orang Syi’ah dalam ucapannya berikut:

يَا أَشْبَاهَ الرِّجَالِ وَلاَ رِجَالَ، حُلُوْمَ اْلأَطْفَالِ وَعُقُوْلَ رَبَّاتِ الْحِجَالِ، لَوَدِدْتُ أَنِّيْ لَمْ أَرَكُمْ وَلَمْ أَعْرِفْكُمْ مَعْرِفَةً، وَاللهِ جُرْتُ نَدَمًا وَأَعْقَبْتُ ذَمًّا، قَاتَلَكُمُ اللهُ، لَقَدْ مَلَأْتُمْ قَلْبِيْ قَيْحًا وَشَحَنْتُمْ صَدْرِيْ غَيْظًا وَجَرَعْتُمُوْنِيْ نَغِب اْلتِهْمَامَ أَنْفَاسًا وَأَفْسَدْتُمْ عَلَيَّ رَأْيِيْ بِالْعِصْيَاِن وَالْخِذَْلاَنِ

Wahai orang-orang yang berpenampilan lelaki, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berjiwa lelaki, berperilaku kekanak-kanakan, berpikiran layaknya kaum wanita. Sungguh, aku berangan-angan Andai aku tidak pernah menyaksikan, dan tidak mengenal kalian sama sekali. Sungguh demi Allah, aku telah dirundung penyesalan, dan memikul celaan. Semoga Allah membinasakan kalian, sungguh kalian telah memenuhi hatiku dengan kebencian, membanjiri dadaku dengan kemarahan. Kalian juga telah memaksaku untuk menanggung kegundahan, menghancurkan kecerdasanku dengan perilaku kalian yang senantiasa membangkang dan berkhianat.”[13]

Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Bâqir (imam sekte Syi’ah ke-5) lebih tegas lagi menggambarkan tentang sekte Syi’ah dengan mengatakan:

لَوْكَانَ النَّاسُ كُلُّهُمْ لَنَا شِيْعَةً، لَكَانَ ثَلاَثَةُ أَرْبَاعِهِمْ لَنَا شُكَّاكاً، وَالرُّبْعُ الآخِرْ أَحْمَقُ

Andai seluruh manusia menjadi penganut syi’ah, niscaya tiga perempat dari mereka adalah orang-orang yang hobi menghunus pedang terhadap kami, dan sisanya adalah orang-orang dungu.[14]

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi kita, dan semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa menghidupkan kita di atas sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Wallâhu ‘alam bis shawâb

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079 ]
_______
Footnote
[1] Al-Kâfi oleh al-Kulaini 1/327
[2] Aneh bin ajaib, al-Khumaini meyakini bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebebasan untuk menyembunyikan masalah al-Imâmah dari umatnya. Anggapan ini nyata-nyata bertentangan dengan firman Allah Azza wa Jalla berikut:
يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
 Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” [al-Mâidah/5:67]
[3] Kasyful Asrâr oleh al-Khumaini 149.
[4] Kasyful Asrâr oleh al-Khumaini 155.
[5] Al-Kâfi oleh al-Kulaini 1/144.
[6] Bihârul Anwâr 35/29.
[7] Bihârul Anwâr oleh al-Majlisy 22/351 & Tafsir Nur As-Tsaqalain, karya Abdu Ali bin Jum’ah al- ‘Arusy al-Huwaizy 1/396.
[8] Al-Ikhtishâsh, karya Asy-Syaikh Mufîd hlm. 6.
[9] Tafsir Al ‘Ayyasyi 1/199, karya An-Nadhir Muhammad bin Mas’ûd as-Samarqandi (wafat th: 320 H), Bihârul Anwâr 22/333 karya Al-Majlisy, (wafat th. 1111 H).
[10] Idem 39/347.
[11] Al-Hukûmah al-Islâmiyyah oleh Ayatullâh al-Khumaini 113.
[12] Sungguh mengherankan, Bapak Prof, Dr. M. Quraish Shihâb yang konon ahli tafsir Indonesia, tidak merasa terusik dari nama semacam ini. Bahkan beliau menjadikan karya tokoh Syi’ah ini sebagai salah satu referensi utama dalam buku-buku beliau. Beliau tidak terpanggil untuk mengomentari atau mengingatkan para pembaca tulisan beliau tentang kesalahan penamaan semacam ini. Sebagai contoh, silahkan baca buku beliau yang berjudul Sunnah-Syiah, bergandengan tangan! Mungkinkah?, hlm. 119.
[13]  Nahjul Balaghah (ensiklopedia khutbah-khutbah Imam Ali bin Abi Thalib) 1/70 & Al Kafi 5/6, karya Al Kulaini wafat thn 329 H.
[14]  Al Ghaibah  hal: 268, karya Muhammad bin Ibrahim An Nu’maani wafat thn: 380 H, Ikhtiyaar Ma’rifatir Rijaal, 2/460, karya As Syeikh At Thusi  wafat thn 460 H, Bihaarul Anwaar 46/251, karya Muhammad Baqir Al Majlisi wafat thn : 1111 H, & Mu’jam Rijalil Hadits 3/251, karya As Sayyid Abul Qasim Al Musawi Al Khu’i, wafat thn: 1413 H.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/68109-sunnah-dan-syiah-bersandingan-mustahil.html